Senin, 15 Februari 2016

Sepenggal Kisah Bencana Banjir Kalimantan Barat
Akibat peralihan cuaca yang terhitung dimulai dari bulan desember kemaren, intensitas curah hujan tinggi di daerah Kalimantan barat, dan pada bulan Januari-Februari intensitas curah hujan semakin tinggi dan akhirnya berakibat pada bencana banjir di beberapa kabupaten di Kalimantan barat. Laju kerusakan hutan  akibat alih fungsi hutan dan lahan di Kalimantan Barat  semakin memberi kontribusi besar terhadap bencana banjir yang terjadi saat ini di beberapa wilayah di Kalimantan Barat.
Kab.Sambas, Kab. Bengkayang, Kab. Landak, Kab. Kapuas Hulu dan Kab. Ketapang adalah beberapa wilayah yang ada di Kalimanatan barat ini yang terkena dampak bencana banjir.
Melihat situasi yang terjadi, Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Muhammadiyah Pontianak (MATA-UMP) melakukan survey lapangan pada tanggal 12 februari 2016 terkait isu bencana banjir yang berkembang dan untuk daerah yang kami fokuskan adalah di Kabupaten Sambas dan akhirnya dari hasil data lapangan kami di Kab. Sambas kami menemukan beberapa desa, di beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas yang terendam banjir.
Atas kondisi diatas MATA-UMP berinisiatif untuk melakukan serangkaian kegiatan yaitu Sistem Data dan Informasi bencana, Pembuatan Posko dan Aksi penggalangan dana dengan turun kejalan, karena kami berpikir desa yang terendam banjir tersebut membutuhkan bantuan. Untuk melakukan penggalangan dana tersebut kami menggandeng Siswa Pencinta Alam SMKN 3 Pontianak (Sispala SERPA) dengan cara membangun Posko Bantuan Bencana Banjir Sambas pada tanggal 13 Februari 2016
.
Adapun desa yang kami fokuskan untuk memberikan bantuan dana tersebut adalah desa sabung dusun lubug bagak kec.subah.
Dari serangkaian kegiatan yang kami lakukan, ada beberapa catatan penting yang perlu kita koreksi bersama, diantaranya ialah sistem birokrasi yang panjang panjang dan terlalu berbelit-belit yang akhirnya, memperlambat kerja-kerja tanggap bencana. Hal ini dapat di lihat ketika kami memohon bantuan ke beberapa lembaga salah satunya sekolah X di kota Pontianak. Kepala sekolah tersebut mengatakan bahwa tidak dapat memberikan bantuan dengan alasan tidak adanya surat rekomendasi dari dinas sosial dan dinas pendidikan.
Masalah itu menunjukkan bahwa dalam menangani situasi darurat seperti adanya bencana banjir ini pun kita perlu melalui anak tangga birokrasi yang rumit. Untuk memohon rekomendasi dari satu dinas saja memakan waktu selama satu hari apalagi harus mendapatkan dua surat rekomendasi dari dua lembaga. Sementara masyarakat yang terkena musibah ini harus mendapatkan bantuan sesegera mungkin.
Serangkaian permasalahan tersebut diperparah dengan tingginya rasa individualisme yang ada pada masyarakat kita. Bahkan seorang kepala sekolah yang kita anggap sebagai penutan pun dapat mengeluarkan statmen yang berbunyi “orang di sana saja tidak memberikan sumbangan kenapa kita yang jauh disini harus memberikan sumbangan”. Dapat kita bayangkan betapa mirisnya rasa kemanusiaan yang ada pada masyarakat kita pada saat ini. Ketika seorang kepala sekolah saja mempunyai rasa individualisme  yang tinggi seperti itu bagaimana dengan anak didiknya ?.

Semoga dari serangkaian permasalahan diatas dapat menjadi inspirasi untuk buah pemikiran kita bersama, bagaimana kita menyelesaikan permaslahan birokrasi yang terlalu berbelit-belit dan tingginya rasa individualisme yang ada di masyarakat kita pada saat ini.