Sepenggal
Kisah Bencana Banjir Kalimantan Barat
Akibat peralihan cuaca
yang terhitung dimulai dari bulan desember kemaren, intensitas curah hujan
tinggi di daerah Kalimantan barat, dan pada bulan Januari-Februari intensitas
curah hujan semakin tinggi dan akhirnya berakibat pada bencana banjir di
beberapa kabupaten di Kalimantan barat. Laju kerusakan hutan akibat alih fungsi hutan dan lahan di
Kalimantan Barat semakin memberi
kontribusi besar terhadap bencana banjir yang terjadi saat ini di beberapa
wilayah di Kalimantan Barat.
Kab.Sambas, Kab.
Bengkayang, Kab. Landak, Kab. Kapuas Hulu dan Kab. Ketapang adalah beberapa
wilayah yang ada di Kalimanatan barat ini yang terkena dampak bencana banjir.
Melihat situasi yang
terjadi, Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Muhammadiyah Pontianak (MATA-UMP)
melakukan survey lapangan pada tanggal 12 februari 2016 terkait isu bencana
banjir yang berkembang dan untuk daerah yang kami fokuskan adalah di Kabupaten
Sambas dan akhirnya dari hasil data lapangan kami di Kab. Sambas kami menemukan
beberapa desa, di beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas yang terendam banjir.
Atas kondisi diatas
MATA-UMP berinisiatif untuk melakukan serangkaian kegiatan yaitu Sistem Data
dan Informasi bencana, Pembuatan Posko dan Aksi penggalangan dana dengan turun
kejalan, karena kami berpikir desa yang terendam banjir tersebut membutuhkan bantuan.
Untuk melakukan penggalangan dana tersebut kami menggandeng Siswa Pencinta Alam
SMKN 3 Pontianak (Sispala SERPA) dengan cara membangun Posko Bantuan Bencana
Banjir Sambas pada tanggal 13 Februari 2016
.
Adapun desa yang kami
fokuskan untuk memberikan bantuan dana tersebut adalah desa sabung dusun lubug
bagak kec.subah.
Dari serangkaian
kegiatan yang kami lakukan, ada beberapa catatan penting yang perlu kita
koreksi bersama, diantaranya ialah sistem birokrasi yang panjang panjang dan
terlalu berbelit-belit yang akhirnya, memperlambat kerja-kerja tanggap bencana.
Hal ini dapat di lihat ketika kami memohon bantuan ke beberapa lembaga salah
satunya sekolah X di kota Pontianak. Kepala sekolah tersebut mengatakan bahwa
tidak dapat memberikan bantuan dengan alasan tidak adanya surat rekomendasi
dari dinas sosial dan dinas pendidikan.
Masalah itu menunjukkan
bahwa dalam menangani situasi darurat seperti adanya bencana banjir ini pun
kita perlu melalui anak tangga birokrasi yang rumit. Untuk memohon rekomendasi
dari satu dinas saja memakan waktu selama satu hari apalagi harus mendapatkan
dua surat rekomendasi dari dua lembaga. Sementara masyarakat yang terkena musibah
ini harus mendapatkan bantuan sesegera mungkin.
Serangkaian
permasalahan tersebut diperparah dengan tingginya rasa individualisme yang ada
pada masyarakat kita. Bahkan seorang kepala sekolah yang kita anggap sebagai
penutan pun dapat mengeluarkan statmen yang berbunyi “orang di sana saja tidak memberikan sumbangan kenapa kita yang jauh
disini harus memberikan sumbangan”. Dapat kita bayangkan betapa mirisnya
rasa kemanusiaan yang ada pada masyarakat kita pada saat ini. Ketika seorang
kepala sekolah saja mempunyai rasa individualisme yang tinggi seperti itu bagaimana dengan anak
didiknya ?.
Semoga dari serangkaian
permasalahan diatas dapat menjadi inspirasi untuk buah pemikiran kita bersama,
bagaimana kita menyelesaikan permaslahan birokrasi yang terlalu berbelit-belit
dan tingginya rasa individualisme yang ada di masyarakat kita pada saat ini.